HENRY HITAM orang Nusantara, MANUSIA PERTAMA YANG MENGELILINGI BUMI

Enrique El Negro ( Henry Hitam )

Enrique el Negro (Henry Hitam), bukan Juan Sebastian de Elcano, Manusia pertama yang mengelilingi bumi. Dan dia adalah orang Indonesia.

Di sekolah kita belajar sejarah bahwa manusia pertama yang mengelilingi bumi adalah Ferdinand Magellan (Fernao Magallhaes – Portugis, Fernando Magellan – Spayol) pada tahun 1521. Dengan terbunuh di Mactan, Filipina pada tanggal 27 April 1521, Magellan belum melengkapi “circumnavigation of the globe”.

Perjalanannya terdahulu yang paling jauh kearah timur Nusantara hanya sampai diBrunei. Dengan begitu Magellan belum lengkap mengitari lingkaran bumi sebulat 360%. Brunei terletak di garis bujur timur (longitude) 114˚40′, sementara Mactan berada di 123˚58′. Masih ada selisih 9˚18’. 9˚18’. Jika diukur persis di garis ekuator masih kurang 1035,28 km (40.075,2 km / 360 x 9,3). Sebastian de Elcano yang melanjutkan misi Magellan melengkapi “circumnavigation of the globe”nya pada 6 September 1522 bersama 17 orang awak kapal yang tersisa. Di antara 17 orang tersebut ada Antonio Pigafetta, seorang avonturir kaya asal Italia yang menulis buku tentang perjalanan paling bersejarah ini. Informasi tentang perjalanan ini adalah buku tulisan Antonio Pigafetta yang ada tersimpan di perpustakaan Universitas Yale. Selain itu sumber informasi tentang pelayaran manusia yang paling menakjubkan ini adalah laporan yang ditulis oleh Maximillianus Transylvanus yang mewawancarai sisa-sisa anak buah Magellan yang selamat kembali ke Spanyol.

Laporannya dicetak tahun 1523 dengan judul “De Moluccis insulis”. Transylvanus adalah pembantu Kaisar Tahta Suci Roma Charles V (1519 – 56) yang dirangkap oleh Raja Spanyol Charles (Carlos) I (1516 – 56).
Di catatan keliling dunianya Pigafetta menulis bahwa Magellan dibantu oleh seorang asisten asal Sumatra yang dipanggil Enrique de Malacca atau Enrique El Negro (Henry Hitam). Ada yang menyebutnya Enrique de Molucca, mungkin Transylvanus, karena dialah yang menyatakan bahwa Henry Hitam berasal dari Maluku. Pigafetta menulis Magellan berhasil meyakinkan Raja Carlos I Spanyol untuk membiayai perjalanannya karena datang ke hadapan raja dengan membawa serta Henry Hitam yang cerdas dan membuat raja terpesona. Dapat kita bayangkan seorang budak membuat seorang raja dan kaisar kagum.

Ferdinand Magellan berangkat dari Sanlucar de Barrameda 20 September bersama 270 pelaut dari berbagai kebangsaan. Mereka terbagi ke dalam lima kapal yaitu kapal utama “Trinidad” yang membawa Magellan, Pigafetta dan Henry Hitam, “San Antonio,” “Concepción,” “Victoria,” dan “Santiago.”
Selama lebih dari 400 tahun tidak ada orang yang berpikir tentang kemungkinan bahwa Henry Hitam inilah yang pertama kali mengelilingi bumi. Tahun 1958 seorang novelis Malaya Harun Aminurrashid mengklaim bahwa Henry Hitamlah pengeliling dunia yang pertama dan dia adalah orang Malaya (Malaysia baru ada 1963). Ia menulis novel pelayaran ‘Panglima Awang’ gelar yang diberikannya untuk Henry Hitam. Ini tentu dengan catatan bahwa setelah ditinggal di Cebu oleh de Elcano, dia kembali ke kota Malaka. Tidak seperti kasus Batik, orang Malaya ini cukup sopan dengan mengatakan bahwa Henry Hitam adalah orang Malaya tapi berasal Sumatra.

Yang meresahkan adalah klaim Carlos Quirino – pakar sejarah dan penulis Filipina– pada tahun 1980 bahwa Henry Hitam ini orang Filipina, hanya dengan argumentasi bahwa dia bisa langsung berkomunikasi dengan penduduk asli ketika sampai di Cebu. Padahal catatan Pigafetta jelas-jelas mengatakan bahwa Henry Hitam hanya bisa berkomunikasi dengan bahasanya (pastinya Melayu) dengan Raja Humabon, penguasa Cebu. Sebagai seorang raja beliau pasti mendapat akses untuk belajar bahasa Melayu baik secara langsung atau melalui guru. Ketika itu bahasa Melayu adalah bahasa internasional yang dipakai secara luas dari Madagascar di Afrika sampai Pulau Easter di Samudra Pasifik. Tentang kenyataan bahwa si Hitam berasal dari Sumatra, ia berasumsi bahwa bahwa Henry Hitam diculik oleh perompak dan dijual sebagai budak ke Sumatra dan dijual lagi ke Malaka. Tahun 2002 penulis Filipina Carla Pacis menulis novel tentang Henry Hitam dengan judul julukan Spanyolnya – Enrique el Negro, berdasarkan argumentasi Quirino. Malah ketika itu direncanakan akan dibuat filemnya sekalian.

Sekarang, setelah Batik, apalagi yang dapat menambah kebanggan kita sebagai bangsa Indonesia? Henry Hitam adalah orang Indonesia! Kenapa dia djuluki si Hitam? Di Sumatra jarang ada orang berkulit hitam. Magellan pasti sudah menpersiapkan perjalanan-keliling-dunianya ke arah Barat, ke Maluku dan balik kembali ke Spanyol dengan matang. Ia perlu sorang yang paham betul tentang Nusantara dan terutama Maluku. Apalagi jika bukan orang Maluku. Ada dua versi bagaimana Magellan mendapatkan si Hitam. Versi pertama: Tahun 1511 ketika Portugis yang dipimpin Alphonse D’Albuquerque menaklukkan Malaka, dan Magellan adalah salah satu komandannya, mereka mendapatkan 3000 budak dari berbagai suku di Nusantara yang ditinggalkan oleh raja Malaka Sultan Mahmud. Kenapa dia memilih Henry Hitam yang ketika itu berusia sekitar 18? Bukan hanya karena dia cerdas, bisa berbagai bahasa, tapi juga karena berasal dari Maluku. Tempat yang dulu diidam-idamkan oleh orang Eropa yang menyebutnya “Spice Islands”. Versi kedua: Magellan mendapatkan Henry Hitam dari Francisco Serrao di Sumatra sebelum penyerangan ke Malaka. Serrao adalah “Resident Officer” Portugis di Maluku yang tugasnya mengumpulkan rempah-rempah untuk dibawa ke Goa di India. Kenapa pula Henry Hitam disebut orang Sumatra? Ketika itu “menjadi” orang Sumatra di Malaya mungkin bisa mengangkat gengsi. Perlu diketahui bahwa selama berabad-abad Malaya berada di bawah perlindungan Sumatra (Sriwijaya). Mungkin Henry Hitam ini jika kita gunakan istilah sekarang agak lebai. Jelas-jelas hitam tapi mengaku asal Sumatra.

Satu argumentasi lagi yang mendukung teori ini adalah Pigafettta selama perjalanannya menulis sebuah kamus bahasa-bahasa yang dijumpainya selama perjalanan. Dari 460 kata yang ada di kamusnya hanya 160 kata yang bukan bahasa Melayu. Tidak heran. Pastilah dia dibantu Henry Hitam yang sekapal dengannya selama 18 bulan. Di antara kata-kata yang dikumpulkannya banyak yang berasal dari Maluku seperti diakui Pigafetta.

Henry Hitam tidak mengikuti rombongan de Elcano kembali ke Spanyol. Menurutcatatan versi Spanyol ia tewas di Cebu, sesuatu yang rasanya tidak karena ia bersahabat dengan Raja Humabon. Yang paling mungkin adalah dia ditinggalkan di Cebu. Penulis Malaysia tadi berasumsi bahwa ia kembali ke Malaka dan melengkapi “circumnavigation of the globe” atau pulang ke Sumatra. Mungkin juga ia kembali ke Maluku karena lebih dekat. Apapun itu, apalagi jika ia berasal dari Maluku, ia sudah melengkapi perjalanan keliling dunianya karena Mactan berada di garis bujur timur 123°58′, sedangkan Ambon berada di 128°12′.

Dipublikasi di aktivitas | Meninggalkan komentar

Tolstoy ( Sastrawan Realisme )


Penulis besar, pecinta kaum Papa nama lengkapnya adalah Lyev Nikolayevich Tolstoy, lahir di Yasnaya, Tula, Rusia tanggal 28 Agustus 1828 dari sebuah keluarga ningrat. Sejak umur 9 th orang tuanya meninggal sehingga ia dibesarkan dalam asuhan bibinya. Meskipun berasal dari keluarga ningrat, Tolstoy tidak menjadi angkuh dan ingin dihormati, justru sebaliknya ia dikenal sebagai filsuf moral dan reformator sosial.

Pada saat itu sedang terjadi tekanan revolusi sosial, dimana orang kaya dari kelompok ningrat hidup dalam kemewahan dan pesta pora. Sementara kaum petani dan lainnya yang miskin hidup dalam kesengsaraan.

Umur 16, Tolstoy kuliah di Univ. of Kazan, untuk belajar bahasa dan hukum, namun karena bosan ia keluar dari sekolah itu. Meski demikian, latar belakang pendidikan hukum membuat Tolstoy mengerti praktek- praktek kehidupan yang menyimpang. Kaum ningrat, bangsawan kaya yang hidup dalam kemewahan, ternyata tidak selamanya memperoleh semua kekayaan itu dengan cara yang benar.

Tolstoy masuk ketentaraan pada tahun 1851 dengan menggabungkan diri pada tentara Kaukasia dan ikut dalam perang Krim. Dia keluar dari ketentaraan pada 1855 utk kemudian mengembangkan kemampuannya di bidang sastra di St. Petersburg. Melalui minat dan bakatnya yang besar dalam penulisan, Tolstoy menyampaikan keluhan-keluhan kaum tertindas dalam karya-karyanya yang luar biasa. Dalam tulisannya nampak nyata ungkapan-ungkapannya mengenai prinsip kekristenan secara mendalam. Novel pertamanya yang berbentuk autobiografi yaitu “Childhood, Boyhood, dan Youth” menceritakan tentang anak seorang tuan tanah kaya yang perlahan menyadari perbedaan antara dirinya dengan teman-temannya yang berasal dari golongan petani.

Keturunan ningrat yang cinta orang papa ini juga rela hidup di tengah kaum petani itu. Walau sistem perbudakan masih berlaku dimana-mana, termasuk Rusia. Namun Tolstoy rela membebaskan orang yang bisa ia jadikan sapi perah demi kasihnya pada semua orang. Anehnya, para budak yang ia bebaskan itu justru tetap tinggal dengan tuannya yang baik hati ini. Dalam ladang pertaniannya yang luas, kelompok orang -orang ini hidup bersama dengan cara swadaya. Ia pun lalu membentuk sekolah utk anak-anak petani di daerahnya. Ketika sekolah ini akhirnya berhenti, ia lalu berkeliling ke Eropa barat dan dari pengembaraannya itu, hatinya dipenuhi rasa muak atas peradaban barat dan materialisme dalam kehidupan masyarakat borjuis Eropa. Seluruh pengalamannya itu dituangkan dalam karyanya yang bernada getir, yaitu “Luzern” (1857).

Th 1862 Tolstoy menikahi Sophia Andreyevna Bers, seorang gadis muda terpelajar dan memberinya 13 anak. Pernikahannya tidak bahagia, karena keterus-terangannya dan perbedaan konsep tentang tugas isteri. Selama awal perkawinan ini ia menulis The Cossacks dan mahakaryanya War and Peace (1862-69) yaitu sebuah novel sejarah tebal (lebih dari 1500 halaman, mencakup 580 karakter, baik nyata atau fiksi) yg menggambarkan kejadian pada masa pendudukan Napoleon dan kekaisaran Russia pada PD I th 1812. Novel itu sekaligus membuktikan bahwa Tolstoy adalah juga seorang ahli sejarah hebat yg dapat melihat sisi-sisi dari sejarah yg tak disadari org lain. Sementara pd tahun 1867 ia menulis Anna Karenina, novel yg menjadi karyanya yg paling dikenal orang, bercerita tentang tragedi kehidupan cinta seorang wanita yg terjebak antara kondisi masyarakat yang miskin dan filosofi kebangsawanannya (mirip dengan kisah Tolstoy sendiri. Meski War and Peace sering disebut sebagai novel hebat, Tolstoy hanya menganggap Anna Kareninalah yang benar-benar novel, karena sebagai sastrawan realis, ia menganggap bahwa sebuah novel harus dapat berfungsi sebagai potret refleksi kenyataan yang terjadi pada kehidupan sosial dan politik masyarakat secara luas, bukan hanya satu golongan saja.

Pada usia 50 tahun, Tolstoy yang sejak muda banyak bergumul dengan pertanyaan -pertanyaan seputar hidup dan masyarakat sekitarnya, ditambah dengan krisis paruh baya dan depresi yang dialaminya akhirnya menemukan jawaban dalam kekristenan. Dia melihat ajaran kasih dan terutama ajaran mengenai khotbah di bukit serta ajaran “jika kau ditampar pipi kananmu berikan pipi kirimu” sesuai dengan semangat dan pandangan hidup pasifisme (anti kekerasan) yang ia pegangsetelah melihat dan merasakan sendiri kekejaman perang. Tolstoy juga dikenal sebagai seorang anarkis (dlm hal ketidak setujuannya pd sistem yg otoritarian / pemaksaan kehendak, termasuk jika praktek tersebut terjadi di negara dan gereja), ia memiliki pandangan tersendiri mengenai kekristenan, ia percaya jika orang Kristen harus dapat melihat ke dalam hati dan dirinya sendiri untuk menemukan kebahagiaan diri dan bukan hanya bergantung pada gereja atau penguasa saja (pandangan “Kerajaan Allah ada di dalammu”), dia juga menganggap aristokrasi/kebangsawanan adalah beban bagi rakyat miskin dan menentang adanya kepemilikan pribadi. Ide-idenya tsb lah yang sering membawa konflik antara dirinya dengan pihak pemerintah dan gereja ortodoks di Rusia. Di masa depan, pemikiran tentang perjuangan anti kekerasan melawan penindasan ini juga banyak mempengaruhi tokoh2 spt Mahatma Gandhi (yg memang sempat mengadakan hubungan korespondensi dengannya), Martin Luther King Jr dll.

Setelah menjadi Kristen, karya-karya Tolstoy lebih banyak bernuansa religius seperti Confession (1879) yg berisi pengalaman pertobatannya. Selain juga A Short Exposition of the Gospels (1881),
What I Believe In (1882), What Then Must We Do? (1886), The Law of Love and the Law of Violence (1908), novel Hadji Murad (1896-1904), novella The Death of Ivan Ilyich (1884), Resurrection (1899-1900), drama The Living Corpse (terbit 1911), selain juga essay What is Art yg menulis tentang tanggung jawab seorang seniman untuk membuat karyanya dapat dipahami oleh banyak orang, yang sehingga seorang seniman juga harus membaur dan tdk hidup di menara gading yang eksklusif dan angkuh. Tolstoy juga banyak berkhotbah, isi khotbahnya banyak berkisar tentang ajaran anti kekerasan dan kesederhanaan hidup.

Di masa tuanya, karena ketidak harmonisan rumah tangganya, terutama dengan isterinya dan 12 anaknya (kecuali si anak bungsu, Alexandra) yg tdk sepaham dengan pola hidup yg tdk mengutamakan materi yg ia anut, membuat pada th 1910, di usia 83 tahun, Tolstoy dan Alexandra meninggalkan rumah dan naik kereta tanpa tujuan jelas, dan dalam perjalanan itulah, di sebuah stasiun di Astapovo, Tolstoy meninggal karena kedinginan. Pada waktu pemakamannya, ribuan petani memadati jalan untuk mengantarnya.

Pengikut Tolstoy berkembang di Russia dan luar negeri sampai kini, dan kota kelahirannya banyak diziarahi. Begitu besar pengaruhnya, membuat bahkan pemerintah komunis pada zaman Uni Soviet tetap membiarkan aktivitas mereka, namun meski demikian, gereja Russia tetap memusuhinya.

Dipublikasi di aktivitas | Meninggalkan komentar

NERAKA

Dingin ini tak akan membekukanmu
Hujan ini juga tidak akan melunturkanmu
Karena dirimu adalah dirimu
Dengan segala yang ada padamu
Angkuh
Sombong
Dan serakah
Sekian lama pun tak akan berubah
Bahkan teriakan-teriakan di telingamu pun tak lagi kau dengar
Makian-makian bahkan ludah di mukamu pun tak kau rasa ada
kau buta
kau tuli
dan tak lagi berhati
Ingatkah kau
siapa yang kau duduki?
siapa yang ka erami?
siapa yang kau lucuti?
siapa yang kau jilati?
ohh…. penguasa
tak sadarkah itu hanyalah nama?
tak ingatkah asalmu sebenarnya?
sungguh kau durjana!
Bangsamu pun kau rasa keju
teman dan saudaramu kau anggap pasta
kau makan, kau kunyah,
dan telan sebanyak-banyaknya begitu saja
kau anggap kursimu sebagai ajang pesta
kau anggap gedung megah itu adalah diskotik
atau tempat traksaksi “narkoba” paling aman
dan kau, Hina!
enyahlah!
hancurlah!
binasalah seketika!
ketika tangan-tangan itu menyatu
ketika derap itu semakin mendekat
ketika gema itu semakin menggelegar
ketika genderang itu sudha menyakitkan telinga
kau!
bukanlah apa apa
bukan apa apa!
Dipublikasi di aktivitas | 2 Komentar

Mengartikan kebersamaan

Mengartikan kebersamaan

Dan ketika kebersamaan itu bisa sungguh diwujudkan, maka tidak akan mudah kesedihan dan keterpurukan itu menghampiri kita, karena disana akan terwujud apa yang sulit diwujudkan, dan akan terangkat semua yang sulit diangkat, Tidak akan ada aku, mereka, kamu atau dia, karena hanya satu kata yang akan digunakan: KITA. Menanamkan arti dan pentingnya kebersamaan dimulai dari diri sendiri akan sangan ber-efek baik untuk kita maupun komunitas. Saling berbagi dan bekerjasama dalam segala hal, meninggalkan jauh-jauh otoritas dan individual sehingga yang ada hanyalah satu. Satu penderitaan, satu perjuangan dan satu kebahagiaan yang dinikmati oleh penghuni-penghuninya.

Sering kali kita hanya sebatas lewat dalam memahami kebersamaan, atau bahkan hanya di gembar-gemborkan, sementara penerapannya masih juga jauh bahkan bertolak belakang, dan, siapakah yang bisa menciptakan ini? siapakah yang bertanggung jawab dengan ini? guru kita kah? orang tua kita kah? lingkungan kita kah? atau teman-teman kita? Menurut saya, silahkan kembali ke kita, karena semua ada pada individu masing-masing. Mulut difungsikan untuk berbicara selain untuk makan dan minum, tetapi pengaplikasian itu sangatlah penting. Bisa saja, saya pun, yang menulis hal ini juga belum paham dengan definisi kebersamaan, ataupun kalau saya sudah paham, maka saya mungkin belum bisa mengaplikasikannya dalam kehidupan saya. dan bilakah memang kita anggap semua ini adalah proses pembelajaran, pembelajaran bertahap untuk pencapaian tujuan pada akhirnya. Bukankah dalam segala hal kita perlu belajar? orang-orang sakti sekalipun, mereka bisa sakti, kuat dan berpengaruh dengan melalui proses pembelajaran. Apalagi kita?

Kembali ke kebersamaan, bagaimana kita megartikan nya, dan bagaimana “effort” kita mengaplikasikannya, toh itu adalah hasil yang perlu kita hargai. kalaupun kita paham dan masih juga mengutamakan egoisme, ya, anggap saja kita perlu banyak mengasah, mengasah pengetahuan, mengasah rasa, mengasah otak, mengasah cara berfikir dan pola pandang. toh, sekali lagi.. kita semua masih dalam prosesi belajar,

Salam kebersamaan.

Dipublikasi di aktivitas | Meninggalkan komentar

Hello World!

The world is a large place, not unlimited, but large. In contrast, the time that we have here together is limited. Whether we are happy with it or not, this is our world and our life. It is up to us to make of it what we choose. We need to think carefully about this, to see how we live with each other. Often it seems that our behaviour is like that of wild animals in Africa, feeling that we need to destroy others to survive. But humans are different from such animals, or at least they can choose to be different. Harmony amongst people is becoming like a rare jewel; but we can make it more common if we upgrade our own care, love, respect and freedom, all of which seem to be dying out like a dinosaur. No one knows each other, no one seems to be willing to understand their surroundings or care for those around them. While that kind of thinking gets less,  the trend of “money talk” keeps increasing. The sense of community is dying out, opportunities are reserved for a lucky few, whose egoism, greed and lack of understanding of fellow human beings doesn’t allow them to share. How grateful we should be for this life and what we have, and with gratefulness how easy it could be to share with others and make life more meaningful for ourselves and others!. Instead, the poor stay poor and the rich just get richer. The sense of what it means to be a human being is in a state of collapse… there only seem to be a few left who still care and are willing to do something to bring about change.So we should be part of this change, be part of the way we want the world to be, no matter what our nationality, skin colour, language, educational level, occupation, family background or gender. We all live on this one world and, we should remember that “no matter whatever we are and whoever we are, it is something special to be in this world and because we are special we must make our life special too”.

Dipublikasi di aktivitas | 1 Komentar

Pak “atas”

 

Pendidikan itu pun dijual

disesuaikan dengan kepentingan para atasan

lalu disediemikian rupakan sehingga menjadi kotak

kotak-kotak itu disediakan anteknya

untuk menempatkan pikiran-pikiran generasi

kewajiban-kewajiban yang dibuat

tuntunan-tuntunan yang dihidupkan

lalu bangsanya pun akan tepar

telanjang tanpa baju di pinggiran

ditertawakan oleh para tetangga

karena kualitas yang ada hanyalah kualitas koruptor

sebaik-baiknya, kualitas buruh kasar

tanpa mengecualikan buruh rumah tangga

dan seberani-beraninya tak akan terkalahkan

seperti kuda terlepas dari kandang

mereka-mereka yang tidak banyak itu

akan memperjuangkan kebebasan

berlari kencang dan mengajar

sampai kau porak poranda

sampai kau punya hati dan rasa lagi

atau mungkin sampai kau mati

mereka tak akan gentar

dan kau

bertelanjang, tepar dipinggiran

ditertawakan oleh tetangga mu

bahkan dunia meludahi mukamu

oh, kasihan..

Dipublikasi di aktivitas | Meninggalkan komentar

Stress

Keadaan yang tidak menentu sering membuat kita stress. Baik itu pekerjaan, lingkungan maupun masalah intern atau pribadi. Tidak semua orang mengakui keadaan nya sehingga efek yang menjalar kemana-mana sering tak dapat dihindarkan, atau malah kita masih juga akan bersikeras mengelak.

Dalm keadaan demikian, biasanya yang akan saya lakukan adalah diam, dan menyendiri. “Step Back” saya mengistilahkan. Sehingga saya mampu melihat keadaan saya dari “luar” saya. Tidak jarang juga akan mendapatkan hasil, yang berbuah rileks, karena saya mampu mengetahui permasalahan yang ada pada saya, dan mulai menyusun dan mengkategorikan masalah satu dengan yang lain sesuai dengan urutan penyelesaian dari urutan “priority”. Bila perlu, saya akan membuat list, dan terbukti (meski jarang orang menggunakannya), akan banyak membantu.

Menempel di dinding atau pintu atau tempat yang mudah dilihat juga akan menjadi salah satu kiat jitu untuk kita tidak “tergoda” untuk melakukan hal-hal yang sudah kita “list” kan dan membuat “mark” untuk hal-hal yang sudah settled; dan satu lagi, menekan diri untuk disiplin dengan jadwal – agenda yang sudah kita rumuskan akan menjadi otomatis.

Hal kecil memang bila kita melihatnya dari permasalahan kecil, tetapi bukankah hal besar itu terjadi dari hal kecil yang mengumpul?

Yups! silahkan mencoba, dan mari mencoba.

Dipublikasi di aktivitas | Meninggalkan komentar

Merdeka atau “Mati”

Sangat  disayangkan apabila belajar hanya di artikan dan diakui dalam bentuk formal saja. Belajar bisa dimana-mana, di jalan, pasar, jalan, di tengah keramaian, di kelas, bawah pohon, atau dimana saja. Seperti orang bijak bilang, “semua yang ada disekitar kita adalah guru”. Bukan hanya lulusan perguruan tinggi saja yang bisa menjadi guru, atau yang berseragam dan berada disekolah saja yang disebut guru. Pengemis, pemulung, tukang sampah, tukang becak atau kenek mikrolet pun bisa menjadi guru kita.

Di Indonesia, masih  banyak juga penilaian dan pandangan umum yang mengkaitkan belajar dengan usia, yang berpendapat bahwa yang wajib belajar itu hanyalah anak-anak dan kawula muda. Sedang yang tua tidak layak untuk belajar.  Lalu, bagaimana kalau kita juga melihat di Negara lain? Hong Kong misalnya, ketika banyak organisasi-organisasi manula yang sangat aktif, atau training centre-training centre dan juga panti jompo yang khusus di adakan untuk memberikan fasilitas belajar kepada nenek kakek ini? Ketika badan tak sepenuhnya bisa digerakkan, bahkan membutuhkan bantua orang lain untuk membantunya, mereka masih semangat untuk belajar dan tidak ingin ketinggalan jaman.

Seperti dalam kampus tempat saya belajar juga, yang banyak sekali mahasisiwa-mahasisiwi nya adalah manula, mereka bahkan jauh lebih rajin dari mahasisiwa mahasiswi muda. Sungguh jauh di banding dengan keadaan di Indonesia. Mungkin ini pula yang menjadikan Indonesia hanyalah negara berkelas pekerja kasar, karena tidak ada kesadaran untuk arti pendidikan yang sebenarnya, bahkan disalah gunakan. Uang adalah segalanya, dirajakan bahkan menginjak-injak masa depan bangsa pun di lakukan hanya untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya, masuk ke kantong masing-masing. Bahkan mereka orang “tinggi” berlomba untuk memenuhi kantong mereka sendiri. Aji mumpung konon, dan dikatai sebagai tikus, anjing, atau apapun bukan lah hambatan dan asing di telinga mereka.

Seorang kawan yang sependapat, menyimpulkan, Indonesia tidak memiliki kualitas pendidikan, bahkan yang ada hanyalah penjualan ijasah. Anak-anak dan usia sekolah dijejali dengan kurikulum-kurikulum yang di rekayasa oleh orang-orang yang berkuasa, mereka membolak-balikkan sejarah sesuai dengan kepentingan mereka dan golongan mereka; seolah benteng-benteng itu semakin ditinggikan diantara otak-otak generasi yang dia kuasai. Lalu dibutakan dengan kepekaan perkembangan diluar sana. Menstatuskan budaya atau mengagungkan adat istiadat yang masih kental  atau di kental-kentalkan sebagai tameng, lalu hasilnya hanyalah akan menjadi supporter untuk mereka mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya. Ah, kembali lagi ke topik intinya juga akhirnya.

Banyak sekolah-sekolah tak layak, anak-anak yang tidak berpendidikan, bahkan kesejahteraan yang tidak pernah dikenyam rakyat kecil, dan mereka yang di atas masih saja menagung-agungkan monopoli mereka, kepemimpinan mereka.  Dan, apalah kepemimpinan? Siapa mereka sebenarnya?

Tidak banyak yang berfikir kesana, karena otak-otak itu telah diracuni dengan bualan-bualan dan juga batasan-batasan yang mereka ciptakan melalui berbagai cara, yang dilumuri dengan madu, dengan penyedap rasa, atau bahkan dengan mentah-mentahnya.

Lalu, bagaimana dan apakah tujuan mereka?

Ketika kita semua “goblok”, dan masuk dalam rekayasa keadaan yang mereka buat, datanglah berbondong-bondong, berdalih orang baik dan budiman, merayu dan iming-imingkan uang untuk mereka, kita di jual, dan tentu pula, untuk mempertahankan posisi nya sehingga tikus-tikus berikutnya yang sudah panjang mengantri masih di perlambat untuk mendapatkan giliran makan “keju” nya.

Bagaimana tidak? Ketika bangsa lain berkesempatan mengikuti bahkan di dorong untuk selalu mengikuti perkembangan teknologi, tetapi bangsa Indonesia sibuk mentargetkan penjualan penduduk nya yang sekali lagi, untuk menambah isi karung-karung kekayaan para “pilihan rakyat” itu. Tanpa memikirkan perlindungan, tanpa memikirkan tanggung jawab, dan masih juga, ada dan ada saja cara mereka untuk memeras rakyat kecil yang sudah terjual pula ini. Berbagai peraturan beserta topeng-topeng nya, atau bahkan sekarang lebih berani lagi karena tidak perlu menggunakan topeng, “obsollete’ istilah nya, mereka keluarkan, deklarasikan, dengan muka tembok nya untuk ekploitasi dan diskriminasi pada yang kecil dan semakin dibuat kecil itu.

Oh, sungguh Negara ini semakin buruk rupa saja, atau bahkan sudah tidak ada muka sama sekali, teguran, dari para “tetangga” pun tidak masuk telinga, bahkan semakin dan semakin saja. Lalu, siapa yang bertanggung jawab? Hey orang kecil, rakyat jelata, masih belum sadarkah? Atau benar kata Pramodya Ananta Toer : “.. Barangkali engkaupun akan menuduh mengapa aku tak berbuat lain daripada mereka. Tetapi akupun tahu, bahwa engkau tidak melupakan sjarat ini: KEKUASAAN. Kekuasaan ini akan ditelan lahap-lahap oleh tiap orang, tetapi tidak setiap orang tahu tjaranja mendapatkan dan menelannja…”.

Ya, dan kita rakyat kecil adalah yang tidak punya kekuasaan itu, sedang mereka yang telah kita ataskan telah berubah menjadi kutjing-kutjing yang selalu melahap apasaja di hadapannya.  Selama kita juga masih bersedia menjadi makanan “kutjing”.

Tuhan tidak akan menjatuhkan rejeki langsung dari langit, Tuhan tidak akan mengatur nasib hambanya, Tuhan menciptakan semua ini untuk kita berusaha, bukan hanya diam dan menerima saja. Pemerintah bukan lah Tuhan, jadi, siapa penentu hidup dan masa depan kita? Ya kita sendiri tentunya. Memperkaya pengetahuan dan juga tidak terpancang pada aturan-aturan “kerukan” itu salah satu jalannya. Kemerdekaan itu bukan hanya bebas dari jajahan kompeni atau nipon. Tapi kemerdekaan yang sebenarnya adalah ketika sungguh tidak ada halangan untukmu mengeksplorasikan ide dan pemikiran dalam kehidupanmu. Negara hanyalah sebutan untuk lebih menertibkan atau mengkiaskan kesatuan. Dan kalau hal itu sudah tidak ada dalam sebuah “negara’, apakah kita juga akan rela-rela saja, ikhlas-ikhlas saja ditindas oleh “kerbau-kerbau” yang sebenarnya dungu itu? Eh, bukan kerbau malah, sungguh carilah isitilah yang tepat untuk menamai mereka.

Kebebasan untuk menjadi diri sendiri bukan berarti memberontak, Karena begitu kita memahami arti kebebasan itu, secara otomatis kita juga paham batasannya, sehingga tidak melonjak pada batas kebebasan orang lain.

Kebebasan berfikir, bersikap, dan menentukan nasib. Dan coba renungkan pula dengan semboyan pemberani “merdeka atau mati”. Bukan mati dalam artian yang sbebenarnya, tapi pencernaan lebih luas, mati kemerdekaan, dan nikmat-nikmat saja dijajah oleh bangsa sendiri. Mati kesadaran, dan senang-senang  saja didiskriminasi. Dan mati kemerdekaan, karena seumur hidupmu hanya kau serahkan pada para saudagar-saudagar penjual bangsanya sendiri itu.

Mari mulai kita renungkan, dan mari mulai kita tentukan, mana pilihan anda:

Merdeka atau Mati.

Dipublikasi di aktivitas | Meninggalkan komentar